Biarpunmasuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani. Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang.
Resensi Buku」 Ranah 3 Warna Ranah 3 Warna adalah sekuel dari trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis Ahmad Fuadi. Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Alif di tiga ranah, Bandung , Amman, dan Saint Raymond. Fyi, cerita di
RESENSIBUKU FIKSI ( NOVEL ) A. Identitas Buku. Judul buku : Negeri 5 Menara. Pengarang : Ahmad Fuadi. Penerbit Novel baru terlaris karya Ahmad Fuadi "Negeri 5 Menara" menceritakan kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa
ResensiNovel Negeri 5 Menara. A. Identitas buku. Judul Novel : Negeri 5 Menara. Pengarang : Ahmad Fuadi. Penerbit : Gramedia Pustaka Utama. Tahun Terbit : Agustus 2009. Jumlah Halaman : 424 hal. B. Ikhtisar. Novel berjudul Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi menceritakan tentang seorang pemuda bernama Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau
Previewthis quiz on Quizizz. Perhatikan teks resensi berikut!Novel Negeri 5 Menara memberikan pelajaran hidup bagi para remaja, bahwa segala keinginan, mimpi, harapan, dan cita-cita dapat diraih dengan kerja keras dan kesungguhan serta restu dari orang tua.Penggalan teks resensi tersebut termasuk ke dalam bagian
5PDJF.
Identitas Buku Judul Buku 5 Negeri Menara Penulis A. Fuadi Editor – Penerbit Gramedia Pustaka Utama Cetakan – Jumlah Halaman 224 Jumlah Bab – Ukuran Buku x 20 cm Berat Buku kg Harga Rp. Tahun Terbit 2017 ISBN 9786027870864 Sinopsis Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya belajar di pondok. Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani PM, Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi. Testimoni Lailaturrahmi Membaca buku ini untuk yang kedua kalinya meninggalkan kesan yang berbeda. Kekaguman saya kep ada penulis dan tokoh-tokoh dalam novel ini masih sama, tapi pemahaman saya terhadap berbagai komponen dalam cerita ini berbeda. Ada beberapa istilah yang dulu terlalu asing bagi wawasan saya yang sempit, tetapi alhamdulillah sekarang sudah bisa saya mengerti walaupun saya tidak berani mengklaim bahwa wawasan saya bertambah luas sejak buku ini saya baca pertama kali pada… 7 atau 8 tahun lalu? Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan sukses, kiranya menjadi pesan inti yang terma ktub dan mengaliri seluruh isi buku ini. Dan jangan lupa, keikhlasan dalam segala hal, termasuk dalam menuntut ilmu, adalah esensial dalam hidup ini. Harun Harahap Kalimat da ri bahasa arab ini berarti “Siapa yang bersungguh-sungguh, akan BERHASIL”. Kalimat ini dilang berkali-kali dalam buku ini hingga mendiami bagian relung di otak saya. Sehingga setelah saya menyelesaikan buku ini, energi positif langsung menjalari tubuh saya. Kisah persahabatan dengan sudut pandang pertama, Alif Fikri atau Ahm ad Fuadi, di sebuah pesantren modern Madania atau lebih dikenal dengan Gontor ditulis dengan bahasa yang apik, segar dan membuat saya enggan untuk berhenti menikmati setiap potongan-potongan kalimat yang ada. Di beberapa bab, khususnya tentang hubungan Alif dangan Amaknya dan Baso dengan Amaknya membuat hati saya bergetar. Kagum dengan sikap Amak Alif yang sangat idealis serta Takjub dengan apa yang Baso lakukan untuk neneknya. Novel Negeri 5 Menara ini membuat saya teringat masa kecil saya, dimana Ayah saya pernah bahkan sering selama bertahun-tahun membujuk saya untuk masuk ke Pesantren Gontor. Namun, ternyata Takdir menjadikan saya seorang PNS. Saya iri dengan kisah mereka. Saya iri dengan kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu. Saya iri dengan Kepintaran mereka dalam berbahasa. Mudah-mudahan saya bisa menggantikan rasa iri saya menjadi sebuah motivasi untuk menjalankan hidup dengan lebih baik lagi. Saya sebenernya ingin memberikan 5 bintang, tapi saya masih bertanya-tanya kenapa judulnya Negeri5 Menara?? Mungkin buku kedua dan ketiganya bisa menjelaskannya dan bisa membuat saya menaikkan rating satu bintang lagi untuk buku ini. SALUTEEEEEE!!!! Irwan Sebuah tulisan yang tampak jelas dibuat untuk memotivasi remaja dalam menuntut ilmu, serta sederet nilai-nilai lainnya. Dikemas dalam konteks kehidupan pondok pesantren modern dengan sistem nilainya yang dirasa lengkap dan satu-satunya, termasuk cara memandang realita di dunia ini. Kalau ini adalah kisah nyata – hanya nama tokoh dan tempat yang disamarkan – maka saya akan mengerti struktur dan jalan cerita yang ditampilkan. Kalau ini adalah sebuah novel, saya duga bentuk memoar lah yang sengaja dipilih, entah dengan pertimbangan apa. Sayang sekali segala “kebebasan” atau kemungkinan eksplorasi yang disediakan penulisan kreatif creative writing bergenre novel tidak banyak digunakan. Pengalaman membacanya seperti seorang penyelam yang sudah siap dengan peralatan lengkap, namun kaki terikat rantai pendek ke kapal, sehingga dia hanya sanggup berenang-renang di permukaan. PS. Terima kasih kepada Roos yang telah berbaik hati mengirimiku buku ini. Aku terinspirasi dan belajar dari buku ini walaupun dengan cara yang tidak disangka-sangka 🙂 Nisah Haron Novel ini karya Ahmad Fuadi , penulis Minang yang sempat saya temui ketika berurusan dengan pihak PTS beberapa bulan yang lalu. Kebetulan ini telah menyebabkan saya berkesempatan mendengar sebahagian promosi buku Negeri 5 Menara N5M yang bakal diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan diterbitkan oleh PTS. Saya juga diminta memberikan testimoni untuk buku ini. Novel ini boleh dimasukkan di bawah novel Islami yang memfokus kepada isu pendidikan. Pastinya, apabila saya menyebut novel Islami, ada yang segera membandingkannya dengan Ayat-ayat Cinta. Apabila saya menyebut isu pendidikan, barangkali buku Laskar Pelangi juga akan segara sampai ke minda. Terpulanglah apa yang singgah di minda kalian, tetapi membaca N5M pastinya menawarkan pengalaman yang jauh berbeza apabila dibandingkan dengan kedua-dua novel tadi. Tiada kisah cinta mendayu-dayu merobek rasa seperti Ayat-ayat Cinta. Tiada kisah anak-anak kecil yang susah payah mahu menjejaki sekolah kerana masalah pendidikan umum di kawasan Pulau Belitung seperti yang digambarkan oleh Laskar Pelangi. N5M secara mudahnya kisah anak muda bernama Alif yang mahu melanjutkan pengajian di dalam bidang kejuruteraan tetapi terhalang apabila satu-satunya permintaan ibunya ibu Alif tidak banyak meminta, inilah satu sahaja permintaanya supaya mendalami bidang agama. Hujah ibunya mudah bidang agama memerlukan pelajar pintar seperti Alif. Jika semua remaja terbuang dan rendah mentaliti sahaja yang dibiarkan melanjutkan bidang agama, bagaimanakah agama itu boleh berkembang dan diuruskan oleh mereka yang bijaksana. Oleh sebab ini ialah permintaan seorang ibu, Alif tidak berani menolak walaupun hatinya meronta mahu menyertai bidang impiannya itu bersama-sama sahabatnya, Randai. Alif tidak dapat membayangkan bagaimanakah hidupnya nanti di Persantren Pondok Madani dan dia hanya dapat melihat bagaimana impiannya terbang pergi bersama-sama Randai. Ketibaannya di Persantren Pondok Madani disambut oleh pelbagai perasaan yang berbaur dan langsung tersihir dengan mantra “Man Jadda Wajada” – siapa yang sungguh-sungguh berusaha pasti berjaya. Novel ini melingkar di sebalik falsafah “Man Jadda Wajada” itu dan seterusnya menggambarkan banyak insiden menarik bagaimana pihak pengurusan Pondok Madani membimbing anak-anak didiknya dengan cara yang berhikmah, memberikan hukuman yang bukan berkesan pada fizikal tetapi pada hati. Setiap bab novel ini seperti membaca suatu episod. Setiap peristiwa diperinci di dalam setiap bab. Ini memudahkan pembacaan. Namun, bagi pembaca yang cepat hilang daya tarikan untuk membaca bab seterusnya, bahaya juga; kerana pembaca boleh jadi terhenti daripada meneruskan pembacaan. Namun, setiap kali memulakan bab yang baharu, kita akan mudah terikut dengan gaya penulisan Ahmad Fuadi. Bahasanya santai dengan tempo bahasa yang pantas. Saya yang membaca versi Indonesia ini, dapat mengikuti beberapa istilah Minang yang diberikan nota kaki, Bahasa Arab dan Bahasa Inggeris yang diberikan terjemahan terus pada ayat yang berikutnya. Lantas, pembacaan jadi kurang terganggu. Pembaca sudah dimaklumkan lebih awal bahawa bahasa utama di Pondok Madani ialah Bahasa Inggeris dan Bahasa Arab. Oleh itu, kita segera memahami bahawa perbualan mereka boleh sahaja berlangsung di dalam Bahasa Arab mahupun Inggeris, bukan di dalam Bahasa Melayu. Namun, inti dan maknanya yang diberikan oleh pengarang. Petunjuknya ialah sepatah dua bahasa Arab atau Inggeris yang diselitkan di dalam perbualan bagi memberikan makluman jenis bahasa yang sedang digunakan. Keseluruhan, saya berikan 4 bintang kerana N5M ialah novel yang sederhana lagi jujur sederhana bererti, not trying too hard, berlebih-lebihan yang sengaja; berjaya mengangkat institusi sekolah agama ke takah yang lebih tinggi. Saya percaya kisahnya semi-autobiografi. Fakta tentang Pondok Madani barangkali kisah yang sudah lama berlaku tetapi setakat ini tidak diangkat di dalam bentuk novel dan tidak pernah juga terdedah kepada pembaca di Malaysia, khususnya. Perbandingan barangkali dengan novel VT Hilal Asyraf tetapi saya belum selesai membaca VT, tidak adil untuk saya membandingkannya. Sangat disyorkan N5M kepada para guru, bakal guru, pelajar dan mereka yang terlibat di dalam bidang pendidikan. Belajarlah tentang keikhlasan mengajar dan keikhlasan belajar. Pasti menginsafkan! Clara One of the must read books of the year. Buku ini sangat inspiratif dan membangkitkan semangat juang kepada siapapun yang membacanya. Cara penlisan buku ini mengalir, jernih, dan lugas. Ciri khas tulisan wartawan yang berusaha memberikan gambaran apa adanya tentang suatu kejadian dimasa lampau. Saya adalah Non Muslim. Tapi saya sangat menikmati buku ini. Menurut saya Negeri 5 Menara membuka mata saya tentang islam dengan filosofi dibaliknya. Buku ini lintas agama,dan suku. Selama ini saya selalu berpikir bahwa pondok memberikan pelajaran agama saja- kuno, dan kaku. Tapi ternyata, dari buku ini saya mempelajari bahwa selain agama, para muridnya juga diberikan bekal pelajaran lain untuk memperkaya wawasan-nya. Buku ini juga menjelaskan bahwa di pondok, para Murid diajarkan untuk menerima talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, karena tiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda. Jika kamu melakukan sesuatu dengan relatif mudah dengan hasil yang memuaskan, disitulah talenta kamu berada. Jadi bukan melulu semua orang harus jago ilmu pasti untuk berhasil dalam hidup kepercayaan yang masih dipenggang teguh oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Karakter-karakter dalam buku ini juga luar biasa, sangat hidup. Ketakutan-ketakutan Alif ketika berada di suatu komunitas yang berbeda, rasa sedih dan sepi jauh dari keluarga, ataupun rasa bahagia ketika Alif mendapat wesel dari keluarganya bisa dengan jelas kita rasakan. This book deserves a two thumbs up!! Highly recommended. Khususnya untuk mereka yang menyukai buku yang membangkitkan jiwa juang. Man Jadda Wajada!! Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses!! NB Selama membaca buku ini, saya jadi sering makan masakan Padang…hahaha Syifa Luthfianingsih Inti hidup adalah kombinasi antara niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakkal. Negeri 5 Menara merupakan salah satu bacaan paling berpengaruh bagi hidup saya. Cerita Alif Fikri selama mondok’ di Pondok Madani, yang diceritakan merupakan sebuah keterpaksaan yang kemudian berubah menjadi kesyukuran, memberikan saya banyak inspirasi. Buku inilah yang membuat saya ingin memiliki ukhuwah seperti Sahibul Menara, yang membangkitkan minat saya terhadap karya sastra seperti Menara 4 dan 5, yang membuat saya rajin menekuni kamus Inggris-Indonesia karangan J. Echols seperti Menara 2, yang membuat saya selalu memiliki prinsip saajtahidu fauqa mustawal akhar seperti Menara 1, yang membuat saya ingin menjadi seorang penghafal Alquran seperti Menara 6, dan yang membuat saya berani bermimpi untuk sekolah di luar negeri, meskipun saya hanya’ lulusan pesantren seperti Menara 2, 3, dan 4. 🙂 Terimakasih, bang Fuadi, you’re truly an inspiration! “Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” Erry Satu kata “biasa saja” Setelah membaca buku ini, saya mendapat kesan yang biasa saja tentang buku ini. Maklum, mungkin sebelum membacanya saya cukup terpengaruh dengan pendapat dan review beberapa orang. Apalagi buku ini sempat dibahas di GRI. Jadi jujur saja, setelah membacanya, saya agak sedikit kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi awal. Saya bilang biasa saja karena 1. Ide ceritanya standar. Tentang perjuangan hidup seseorang atau beberapa orang untuk meraih mimpi. Cerita model begini mulai booming pasca lascar pelanginya andrea hirata. Jadi tidak lagi terlalu orisinil. Walaupun dengan setting yang berbeda. Kisah LP menceritakan perjuangan Ikal dari kecil hingga ia meraih mimpinya kuliah di Paris. Dan N5M, menceritakan kehidupan di balik pondok. Tetapi kalau bicara soal perjuangan seseorang meraih mimpi, di buku ini tidak terlalu dijelaskan secara detail kenapa dan bagaimana tokoh Alif dan teman-temannya bisa meraih mimpinya seperti sekarang. Seperti ada sesuatu yang terpotong dan hilang. Jadi mulai masa di ponpes, lulus lantas “meloncat” begitu saja jadi orang sukses. Atau memang karena buku ini rencananya akan dibuat tetralogi? kabarnya sih begitu. Padahal, dari sebuah cerita tentang perjuanagn meraih mimpi yang paling penting adalah bagaimana perjuangannya. intinya, saya tdk bisa baca buku ini dgn semangat seperti saat saya baca LP. 2. Membaca tahapan-tahapan tingkat di PM dalam buku ini mengingatkan saya pada kisah Harry Potter dengan Hogwartsnya. Mulai dari masuk sekolah, ujian hingga pertandingan olahraganya. Bedanya di sini sepakbola dan di sana squiditch. Atau memang semua sekolah berasrama memiliki system seperti ini atau setidaknya mirip seperti ini? Entahlah, saya tidak tahu persis karena belum pernah tinggal di pondok ataupun sekolah berasrama. Tetapi saya merasakan cerita dalam buku ini biasa saja. Nothing new. 3. Judulnya negeri 5 menara. Maksudnya apa sih? Dari awal sampai akhir saya menebak-nebak negeri mana saja yang di maksud. Bukittinggi? USA? London? Kairo? Jakarta? Penggambaran yang kurang jelas. Lagi-lagi karena memang buku ini rencananya akan dibuat berseri? Jadi detailnya akan dimuat di buku lanjutannya? 4. Cerita terkesan terlalu panjang, hingga hampir membosankan. Banyak hal-hal yang tidak terlalu penting diceritakan panjang lebar. Tanpa tahu apa kaitan antara satu bagian cerita dengan bagian cerita yang lain. Untungnya, saya menggunakan cara speed reading saat membacanya. Jadi saya tidak sampai bosan dan tertidur mengikuti alur cerita. Tetapi sebaliknya, inti ceritanya kurang digali lebih dalam. Terlalu datar. Tidak ada konflik ataupun pasang surut. Kurang dalam. kurang bisa menarik emosi pembaca. Kalau diumpamakan dalam sebuah grafik, mungkin grafik alur cerita novel ini hanya akan berbentuk garis-garis kecil naik turun tanpa perubahan kenaikan atau drastic yang berarti. yang kalau diakumulasikan akan seperti garis datar. Tetapi walaupun begitu, harus saya akui sebenarnya banyak nilai moral yang bisa kita ambil dari kisah ini. tentang keikhlasan, keyakinan dan perjuangan. “Man Jadda Wa jadda”.Dan kita bisa tahu lebih banyak tentang kehidupan di balik dinding-dinding pondok pesantren. Tetapi secara umum, dari sudut pandang saya pribadi, buku ini biasa saja. Nothing new. Nothing special. Sebuah cerita, walaupun idenya sederhana, kalau dikemas dengan cerdas dan apik pasti akan jadi sangat menarik. Yang sayangnya tidak terlalu muncul di buku ini. Sekali lagi, ini hanya pandangan subyektif saya loch ^^ Roswitha Muntiyarso Sungguh membaca buku ini membuat pikiran saya kembali terbang ke masa2 MAN saya dahulu. Hidup di asrama dengan segala peraturan ketatnya yang sangat islami dan benar-benar DISIPLIN tak kalah dengan sekolah-sekolah militer. Sekolah saya, Insan Cendekia mengadopsi sistem pesantren dan menerapkan beberapa nilai yang juga dijabarkan di buku ini. Sungguh mengesankan mengingat betapa besarnya semangat juang para anak pesantren ini dalam menghadapi penggojlokan’ iman, jiwa dan raga dalam penjara suci’. Ketika iman diuji, kejujuran dipertanyakan dan juga kebersihan hati dinilai. Semua murid dengan keikhlasan tinggi berjuang untuk mendapatkan yang terbaik. Man jadda wa jada’ benar-benar menjadi motivasi yang terus menerus terpatri dalam hati. Dengan segala kenangan yang ada, sungguh air mata ikut menitik ketika membaca upacara pelepasan lulusan. Tidak ada ijazah. Menuntut ilmu adalah ikhlas tidak mengharapkan apapun. Yang tak kalah membuat saya kagum dari sistem pesantren yang dijabarkan dalam buku ini adalah prinsip keikhlasan yang dimiliki tiap civitas. Murid belajar dengan ikhlas untuk menuntut ilmu meski tanpa ijazah. Para guru dan kyai yang mengajar di sana tidak mengharapkan uang sepeser pun. Hanya pengabdian yang menggerakkan hati mereka untuk kembali ke sekolah tempat mereka belajar dahulu dan berbagi ilmu untuk diamalkan. Wallahu alam sungguh penerapan nafas-nafas Islam begitu terasa. Buku ini memberikan kita gambaran nyata tentang apa yang terjadi di balik tembok pesantren. Sistem yang dulu saya anggap hanya mengajarkan masalah agama saja mulai pudar. Pesantren mengajarkan santrinya untuk belajar lebih banyak dan MENGAMALKAN ilmunya. Berbasis pada keikhlasan, pesantren dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan biaya minim. Tanpa birokrasi dan dana yang entah lari kemana. Sungguh, sistem pesantren ini apabila dapat diterapkan secara luas, saya rasa kemajuan anak bangsa akan lebih baik. Pendidikan benar-benar ada karena guru yang ikhlas mengamalkan ilmunya. Murid takdzim pada gurunya dan benar-benar menuntut ilmu karena Allah. Sungguh apabila jiwa pesantren ini mengakar dalam bangsa Indonesia, tiada pernah lagi ada kata korupsi, birokrasi berkepanjangan dan juga keserakahan pribadi. Penutup bila kamu tertarik sehabis baca resensi ini bisa beli secara online dengan harga Rp. dengan klik tautan Negeri 5 Menara ini atau klik gambar dibawah
resensi buku negeri 5 menara